Search-form

♦Welcome to My Blogspot. Hope you enjoyed reading my blog♦

Sunday, March 20, 2011

Rivalitas Bulls dan Pistons Era Michael Jordan

      Sikut menyikut, permainan keras menjurus kasar, sampai pemilihan tim untuk olimpiade Barcelona ‘92. Semua hal itu tertuang dalam sebuah rivalitas keras antara dua tim NBA di akhir dekade 80-an. Yup, semua pasti ingat rivalitas antara Detroit Pistons dan Chicago Bulls, terutama pada tahun 1988 sampai 1991. Michael Jordan dan rivalnya-Isaiah Thomas. Pistons meraih dua gelar mereka pada tahun 1989 dan 1990, setelah mengandaskan mimpi Michael Jordan muda bersama Bulls. Mereka berada di satu wilayah, yaitu wilayah Timur. Persaingan mereka menjadi bumbu yang menghiasi salah satu rivalitas yang terjadi di NBA.

Di sepanjang sejarah NBA memang ada beberapa rivalitas klasik yang menarik untuk dicermati, namun tidak ada yang sekeras dan sekasar duel Bulls versus Pistons. Sebelum era tersebut dimulai, ada rivalitas yang terjadi antara LA Lakers dan Boston Celtics; antara Earvin “Magic” Johnson dan Larry Bird. Lakers versus Celtics lebih mengarah ke publisitas, pencapaian gelar pribadi, dan prestasi tim kedua bintang mereka [Magic dan Bird]. Sementara persaingan antara Pistons dan Bulls, benar-benar mendarah daging sampai ke fans kedua klub. Kebencian yang tercipta antar bintang dari kedua klub kerap menimbulkan permainan keras, bahkan cenderung kasar. Siapa yang tidak ingat ulah Dennis Rodman yang mendorong Scottie Pippen secara keras [yang menyebabkan mulut Pippen mengucurkan darah]? Atau penolakan Jordan untuk bermain di Dream Team jika I. Thomas ikut bermain? Yup, semua itu seakan menandakan kebencian di antara kedua tim yang begitu mengakar sampai kepada pemain-pemainnya.

Awal Sebuah Rivalitas

1987-1988

Rivalitas mereka dimulai di musim 1987-1988 pada saat semifinal Playoff wilayah Timur sedang berlangsung. Pistons merupakan tim yang sedang berkembang pesat dan Michael Jordan adalah pemain terbaik saat itu. Jordan mendapat banyak gelar musim itu: MVP All-Star, MVP regular season, dan [satu-satunya] gelar Defensive Player of the Year [miliknya]. Setelah melewati Cleveland Cavaliers di babak pertama dengan skor 3-2, Bulls bertemu Detroit Pistons di babak ke dua.  Detroit Pistons memenangi game pertama dengan keunggulan 11 angka. Lalu dibalas oleh Chicago Bulls yang memenangi game ke dua dengan skor 105-95 [dan hasil itu adalah satu-satunya kemenangan Bulls atas Pistons di seri itu]. Setelah itu, Pistons mengambil alih dua game di Chicago dengan keunggulan 22 point dan 19 point, sebelum menutupnya dengan kemenangan 102-95 di kandang sendiri. Isaiah Thomas sempat tak sadarkan diri akibat terkena sikut Jordan-yang menambah sengit persaingan ini. Pistons maju ke babak Final NBA untuk menantang Lakers [setelah mengalahkan Boston Celtics]. Pistons mengakhiri musim itu dengan kekalahan 3-4 dari Lakers.

Rivalitas yang Memanas

1988-1989

Memasuki musim 1988-1989, persaingan mereka menjadi semakin sengit. Pistons [yang menyelesaikan musim dengan rekor menang kalah 63-19 dan menempati peringkat pertama di regular season] ditantang Chicago Bulls di final wilayah Timur. Bulls secara mengejutkan berhasil mengalahkan Cleveland Cavaliers [pertandingan yang dikenang publik sebagai “the Shot”, yaitu tembakan buzzer beater Jordan melewati Craig Ehlo] dan New York Knicks di babak sebelumnya. Unggul terlebih dahulu dengan skor 2-1 atas Pistons, The Bad Boys memainkan sebuah strategi yang dikenal dengan “Jordan Rules”, yakni sebuah strategi yang menghalalkan segala cara untuk menghentikan Michael Jordan. Ya, segala cara. Mulai dari permainan keras menjurus kasar, termasuk diantaranya adalah upaya membuat Jordan kehilangan keseimbangan, sampai usaha untuk sekedar mencegah Jordan mendapatkan bola. Pada dasarnya, strategi defense Jordan Rules memang dibuat [hanya] untuk menghentikan offense seorang Jordan [meskipun dipakai juga untuk mengalahkan tim Bulls secara keseluruhan, dengan mematikan pilihan pertama offense Bulls]. Jordan pun lebih cepat kehabisan stamina saat melakukan defense, akibat sistem penjagaan semacam ini. Berikut kata Chuck Daly, pelatih Detroit Pistons saat itu, tentang Jordan Rules: “Jika Jordan berhasil menerobos di paint area, kita akan memaksanya untuk keluar, lalu mendouble tim Jordan. Jika dia ada di sisi kiri pertahanan kami, maka kami akan segera mendouble team Jordan. Jika dia berada di sisi kanan, kita juga akan melakukan hal yang sama, sehingga kami memaksa Jordan untuk melakukan turnover atau mempassing bola ke rekannya. Jordan bisa melukai kita dari manapun juga, bahkan dari stand penjualan hot dog yang terletak di luar sekalipun. Kelihatannya strategi ini memang cenderung menjurus kasar, tetapi kita harus melakukan kontak fisik dan bermain keras.” Pistons kembali menang atas Bulls, kali ini dengan skor 4-2 untuk melaju ke final NBA. Di final, Pistons kembali bertemu Lakers dan kali ini mereka yang menjadi juara NBA. Musim ini juga menjadi akhir dari karir Doug Collins sebagai pelatih Chicago Bulls [Collins digantikan dengan Phil Jackson].


1989-1990

Permulaan dari sebuah era baru di bawah kepelatihan Phil Jackson, Bulls mencoba mencari cara untuk mengatasi Jordan Rules. Bulls meraih rekor menang-kalah terbaik ke dua musim itu [55-27], dan Pistons memiliki rekor menang-kalah terbaik ke tiga [satu peringkat di bawah Bulls]. Seakan sudah menjadi takdir, Bulls kembali bertemu Detroit Pistons di final wilayah Timur untuk kedua kalinya secara berturut-turut. Kali ini Bulls tampak semakin siap dan semakin dekat dengan gelar juara. Tetapi Pistons tetap adalah ’The Bad Boys’ Pistons, terutama pada musim itu. Walau harus melayani Bulls dalam seri yang sangat ketat [sampai ke game tujuh], akhirnya Pistons kembali melaju ke final NBA pada musim 1989-1990 dan mempertahankan gelar juara NBA mereka [setelah mengalahkan Portland di final dengan skor 4-1]. Meskipun demikian, ada sebuah pertanyaan yang sampai sekarang masih menggantung: jika Pippen dalam kondisi fit [saat itu Pippen mengalami sakit kepala yang dikabarkan menjadi penyebab Jordan bermain buruk. Pippen hanya menghasilkan dua points], apakah hasilnya akan tetap sama?


1990-1991

Jordan sudah dikenal sebagai pemain berbadan cukup besar saat itu, namun dengan melatih fisik dan post-up gamenya, Jordan memasuki musim itu dengan kepercayaan diri tinggi. Memasuki tahun ke tujuhnya, Jordan menyatakan bahwa tahun ini adalah tahun miliknya. “Memenangkan gelar [juara NBA] sangat penting bagiku, bagi rekan setim, dan juga warga Chicago. Itu adalah sebuah kekosongan yang ingin aku isi. Itulah mengapa saya menginginkannya, dan saya akan melakukannya tahun ini.” ucapan ini dikeluarkan oleh Jordan untuk menggambarkan seberapa besar keinginannya meraih gelar juara pertamanya. Yes, Jordan adalah bintang besar, tapi masih tetap minus gelar juara. Bulls harus terlebih dahulu melewati hadangan Detroit Pistons di Playoff wilayah Timur.

Pada bulan April tahun 1991 [ketika Pistons bertemu Bulls] Pippen menjabat tangan John Salley [pemain Pistons saat itu] seraya mengatakan, “Sampai bertemu di final wilayah Timur, segalanya akan berbeda musim ini.”  Bulls bermain luar biasa sepanjang musim dengan menorehkan rekor menang kalah 61-21 di regular season, unggul 11 game atas Pistons. Raihan yang memberikan gelar MVP kepada Jordan musim itu, setelah sebelumnya sempat dicap sebagai pemain yang egois. Adalah Bulls versus Pistons yang ke empat kalinya [empat musim berturut-turut dan ketiga kalinya mereka bertemu di final wilayah Timur]. Tujuan dari Pistons adalah meraih tiga gelar berturut-turut, sedangkan Bulls berusaha meraih gelar yang pertama. Pistons tetap percaya diri menghadapi Bulls memasuki final wilayah kali ini. Pistons telah mengalahkan Bulls selama tiga tahun terakhir, mengapa mereka tidak bisa mengalahkannya tahun ini? Itulah yang ada dibenak pemain Pistons. “Sepanjang musim mereka [Bulls] berbicara tentang bagaimana mengalahkan kami. Sekarang kami disini, mari kita lakukan.” ujar Isaiah Thomas mengenai final wilayah Timur tahun 1991.Pistons memiliki dua defender terbaik di NBA musim itu: Joe Dumars dan Dennis Rodman. Menjelang final wilayah Timur, Rodman menegaskan bahwa ia akan mematikan Pippen. “Tidak ada gunanya berusaha menghentikan Jordan, tidak ada yang bisa menghentikan dia. Tetapi jika saya dapat menghentikan Pippen maka kita akan punya kesempatan.” ujar Rodman.

Tidak seperti pada tiga pertemuan sebelumnya, kali ini Bulls memiliki banyak keuntungan:

Home Court Advantage : Dengan jumlah menang-kalah [di regular season] yang lebih baik dari Pistons,  Bulls memiliki jatah empat kali bermain di kandang [sesuatu yang tidak pernah mereka dapatkan tiga musim sebelumnya].
Kebugaran: Bulls memiliki waktu istirahat lebih banyak dari Pistons [yang butuh enam game untuk menghentikan Celtics, sebelum bertemu Bulls di Playoff tahun itu]. Untuk menambah beban Pistons, hampir semua pemainnya mengalami cedera. Bahkan bintang utama mereka, Isaiah Thomas, tidak bermain sebagai starter di tiga game terakhir melawan Celtics. Begitu juga dengan duet Joe Dumars dan Vinnie Johnson, yang juga mengalami cedera. Pemain Bulls lebih muda dan energik melawan pemain Pistons yang mulai menua.
Lebih Matang: Bulls lebih matang pada musim 1991 daripada musim sebelumnya. Kali ini bukan hanya Jordan yang tampil sensasional, Pippen dan Horace Grant juga tampil luar biasa sepanjang musim ini. Belum lagi jika ditambah tenaga dari bangku cadangan seperti: B.J Armstrong, Will Perdue, dan Craig Hodges yang memberikan kontribusi konsisten tahun ini. Meskipun demikian, Pistons masih memiliki kebanggaan dan hasrat untuk kembali menjadi juara [sesuatu yang tampak nyata pada game ke enam melawan Boston Celtics].
Namun kali ini Bulls memang lebih siap. Memulai seri dengan mengalahkan Pistons 94-83, lalu dilanjutkan dengan kemenangan 105-97 di game ke dua. Bulls datang ke kandang Pistons dengan kepercayaan diri penuh. Unggul 2-0 dengan format best of seven games series, mereka berhasil mengalahkan Pistons di game ke tiga dengan skor 113-107. Hal itu seakan menegaskan lahirnya sebuah era baru. Tidak ada satu tim pun dalam sejarah NBA yang mampu memenangkan seri setelah tertinggal 0-3. Dan sejarah pun terulang dengan sendirinya. Bulls memenangi game ke empat dengan skor akhir 115-94, sekaligus menyapu bersih Pistons 4-0. Hari itu akan dikenang oleh banyak orang, karena pada saat pertandingan menyisakan waktu 7.9 detik, para pemain Pistons meninggalkan lapangan pertandingan [dipimpin oleh kapten mereka-Isaiah Thomas]. Tidak ada satupun pemain Pistons memberi selamat [menjabat tangan para pemain tim lawan yang menang] kepada pemain-pemain Bulls, kecuali John Salley.

Jordan Rules terbukti sangat efektif dalam tiga pertemuan pertama Pistons-Bulls dan merupakan alat utama untuk menghentikan Jordan [dalam rivalitas Bulls versus Pistons]. Pistons memenangi tiga seri pertama mereka [4-1, 4-2, dan 4-3], sebelum Bulls akhirnya menemukan cara untuk mengatasi hal ini [The Jordan Rules akhirnya berhasil dipatahkan dengan strategi Triangle Offense ala Phil Jackson. Strategi yang lebih menekankan kepada kerja sama tim dibanding mengandalkan Jordan seorang diri di offense], dan mengalahkan Pistons dengan 4-0. Walaupun banyak yang meragukan kemenangan Bulls karena Pistons datang ke final wilayah Timur dengan keadaan cedera dan kelelahan [mereka mulai menua saat itu dan pemain bintang mereka banyak yang cedera], saat Bulls mulai bermain secara tim maka strategi Jordan Rules seakan tidak efektif lagi untuk menghentikan Jordan. Kali ini Pistons harus menghentikan keseluruhan tim Bulls. Mungkin Pistons harus menciptakan jurus baru lagi bernama ”The Bulls Rules”. Mengalahkan Pistons seakan memang kebutuhan Chicago Bulls untuk mengukuhkan diri sebagai tim terbaik di NBA saat itu. Mereka melaju ke final NBA 1990-1991 dan mengalahkan Lakers dengan 4-1 [yang dipimpin oleh Magic Johnson] untuk meraih gelar pertama mereka dari periode tiga gelar juara berturut-turut yang pertama. Sementara Pistons [setelah dikalahkan] mengalami keterpurukan. Mereka tidak pernah berhasil memenangkan seri lagi di babak Playoffs sampai tahun 2002. Bulls sendiri berhasil meraih tiga gelar juara berturut-turut dua kali dengan strategi triangle offense. Meskipun demikian dalam rivalitas mereka secara keseluruhan di era tersebut, Pistons tidak kalah sukses dengan berhasil memenangkan tiga dari empat seri melawan Bulls dan dua gelar juara NBA berturut-turut [dengan menghentikan Bulls]. Tentu saja memakai strategi Jordan Rules.


RIVALITAS INDIVIDU PISTONS-BULLS

Seperti kita ketahui bersama, rivalitas kedua tim tidak berhenti sampai di tim saja, tetapi juga individu-individu yang terlibat didalamnya. Jordan dan Thomas adalah aktor utama dalam rivalitas ini. Semua dimulai pada All-Star tahun 1985. Sebagai bintang muda, Jordan tampil sebagai starter di tim Timur bersama Thomas. All-Star tahun itu akan dikenang sebagai All-Star terburuk Jordan. Sepanjang pertandingan dia hanya mendapat sembilan tembakan, jumlah FG terendah untuk pemain inti tim All-Star [sampai pada tahun itu]. Hal ini kemudian menimbulkan spekulasi dari media bahwa para pemain bintang mendiskreditkan Jordan dalam offense mereka dengan cara tidak mengoper bola kepada Jordan. Lantas, media mengasosiasikan hal ini sebagai bentuk kecemburuan bintang-bintang tersebut terhadap publisitas yang didapat oleh Jordan. Media juga menuding Thomas sebagai alasan terjadinya semua ini. Namun hal ini disanggah Thomas. Ia beralasan bahwa ia tidak mungkin melakukan hal tersebut karena ada pemain yang lebih senior di tim itu seperti: Larry Bird, Moses Malone, dan Julius Erving.

Hal menarik lainnya adalah absennya Thomas dari the Dream Team [yang saat itu dilatih oleh Chuck Daly, yang juga melatih Thomas]. Rumor menyebutkan bahwa absennya Thomas dari Dream Team adalah karena Jordan tidak menginginkan Thomas sebagai rekan setim-nya. Tentu saja hal ini dipicu dari insiden All-Star game tahun 1985 yang lalu dan juga persaingan mereka sepanjang tahun 1988-1991. Thomas mengatakan bahwa tidak ada keraguan kalau MJ [nickname dari Jordan] adalah pemain terbaik dalam sejarah NBA. Jawaban yang sangat bijak ini seakan diucapkan Thomas untuk tidak memperpanjang rivalitas yang diciptakan media diantara keduanya.

Di luar itu, masih ada rivalitas antara Pippen dan Rodman. Walaupun tidak seperti rivalitas Jordan dan Thomas, rivalitas mereka cukup kental, terutama di game ke empat musim 1990-1991. Rodman sedang memiliki masalah dengan istrinya saat itu. Saat Rodman melewati Pippen, Pippen pun bertanya, “Bagaimana istrimu?” .Komentar tersebut dirumorkan memicu amarah dari Rodman. Yang kita ketahui terjadi kemudian adalah kepala Pippen membentur Plexyglass dari backboard dan mengakibatkan Pippen terjatuh di sisi lapangan. Pada akhirnya kedua pemain melupakan insiden itu, terutama saat Rodman bergabung bersama Bulls. Trio Jordan, Pippen, dan Rodman meraih tiga gelar juara berturut-turut yang ke dua kalinya dan juga mencatat rekor kemenangan sensasional [72-10] di regular season musim 1995-1996.

0 comments:

Post a Comment

Komentar ya! Demi kemajuan blog ini!
Dan Berkomentarlah dengan Bahasa yang baik.

Which of your Favorite football team in Europe?

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More